Sidoarjo//suaraglobal.id- Di tengah gegap gempita Pilkada Sidoarjo 2024, masyarakat dihadapkan pada kenyataan yang mengecewakan yaitu krisis calon perempuan.
Baru nama Mimik Idayana dan Tri Susilowati yang muncul ke permukaan. Ini menambah cerita politisi perempuan Sidoarjo yang minim tampil dipanggung utama politik Sidoarjo.
Kalau flashback selama pelaksanaan 5 kali Pilkada di Sidoarjo, belum pernah menghasilkan calon perempuan yang duduk di tampuk tertinggi pemerintahan Sidoarjo
Nama-nama calon perempuan yaitu Fatmah Thoha Assegaf (Pilkada 2005), Yuniwati Teryana dan Emy Susanti Hendrarso (2010) sementara di 2015 ada nama Tan Mei Hwa dan 2020 ada Dwi Astutik belum menarik minat masyarakat Sidoarjo untuk dipilih
Kalau dilihat juga di Pileg 2024, hanya ada 8 calon perempuan yang terpilih dari jatah 50 anggota DPRD. Situasi ini tidak jauh berbeda dengan pileg 2019, yang juga cuman ada 8 anggota dewan perempuan. Artinya hanya 14% keterwakilan perempuan. Jauh dari semangat keterwakilan perempuan yang 30%.
Padahal kalau melihat data pemilih, kebanyakan pemilih di Sidoarjo adalah perempuan.
Pemilih perempuan menjadi segmen mayoritas di Sidoarjo setiap pemilihan baik presiden, legislatif maupun pilkada.
Suaranya bisa menjadi penentu kemenangan. Dilihat dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan KPU Sidoarjo pada Pileg lalu, ada 1.461.642 pemilih tetap di Sidoarjo. DPT ini terdiri dari 721.038 pemilih laki-laki dan 740.604 pemilih perempuan. Pemilih perempuan lebih banyak 11.566 orang daripada pemilih laki-laki. Dan tren ini nampaknya juga ada muncul di DPT Pilkada 2024 nanti, seperti pemilu-pemilu sebelumnya di Sidoarjo, jumlah pemilih perempuan lebih banyak.
Suara perempuan ini sangat menggiurkan apabila seluruh pemilih perempuan datang memilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Karakter pemilih perempuan itu juga kuat, loyal pada pilihan adalah nilai plus meski pada konteks tertentu gampang untuk dimobilisasi
Situasi ini tidak saja di Sidoarjo, hampir meluas di Indonesia. Ada banyak faktor, diantaranya adalah budaya patriarki masih sangat kuat. Perempuan sering kali dianggap tidak cocok untuk posisi kepemimpinan. Budaya ini juga memperkuat stigma bahwa politik adalah dunia laki-laki, sehingga perempuan merasa enggan atau tidak percaya diri untuk terjun ke dalamnya.
Ketiadaan Bupati atau Wakil Bupati perempuan di Sidoarjo juga menunjukkan bahwa partai politik dan masyarakat masih harus bekerja keras untuk mendobrak hambatan-hambatan yang ada. Partai politik harus lebih berani dalam mencalonkan perempuan untuk posisi strategis dan memberikan mereka dukungan penuh. Di sisi lain, masyarakat juga perlu lebih terbuka dan mendukung calon-calon perempuan yang memiliki kapasitas dan integritas.
Komitmen bersama dari berbagai pihak, perubahan positif bisa diwujudkan. Perempuan bukan hanya pelengkap dalam politik, tetapi mereka adalah kekuatan penting yang harus diakui dan didukung sepenuhnya. Dengan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, kita tidak hanya memperkuat demokrasi, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan mencerminkan kebutuhan seluruh masyarakat
Penting juga untuk mengubah persepsi publik tentang peran perempuan dalam politik. Media massa, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil dapat berperan besar dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam politik. Dengan begitu, diharapkan akan tumbuh kesadaran kolektif bahwa perempuan memiliki kapasitas dan hak yang sama untuk memimpin.
Berharap di sisa waktu ini, muncul nama-nama calon perempuan yang akan meramaikan Pilkada Sidoarjo 2024. Nama seperti Anik Maslachah dan Ainun Jariyah adalah nama-nama yang berpotensi menang di pilkada.(NK)