Sidoarjo//suaraglobal.id-Dari sekian banyak efek positif yang diberikan terhadap pelaksanaan Pilkada secara langsung namun tidak sedikit problematika dapat mengganggu suksesnya pesta demokrasi rakyat pada pelaksanaan PILKADA yang akan di laksanakan serentak pada Tahun 2024. Salah satunya adalah penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang biasa dilakukan petahana dalam pemilu kepala daerah dan beberapa hari kedepan setelah hari ini PLT Bupati yang juga menjadi calon Bupati sudah aktif lagi . Langkah petahana tersebut biasanya sulit dideteksi. Ini yang melatar belakangi adanya kewajiban cuti kampanye bagi petahana seperti yang diatur dalam “Pasal 70 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota, dan Bupati (UU Pilkada)”. Pertama adalah penggelontoran dana bantuan sosial yang meningkat drastis.Masyarakat yang awam tentu akan berpikir petahana baik sekali memberikan bantuan. Padalah itu bukan dari dia pribadi , tapi dari Anggaran Pendapan dan Belanja Daerah.
Petahana yang “abuse of power” juga kerap kali melakukan kampanye terselubung. Biasanya dilakukan dalam peresmian proyek. Menjadi hal yang biasa sejak pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung jelang Pilkada calon kepala daerah itu pembukaan masjid atau Peresmian gereja para Petahana ini akan sering datang. Ini bisa dikategorikan kampanye tidak langsung,
penggelontoran dana bansos dan kampanye terselubung merupakan “abuse of power” dalam cara lembut.
Keberadaan Petahana atau dengan kata lain sering disebut Incumbent pada proses PILKADA secara tidak langsung berada dalam posisi yang kurang mengenakkan. Kemungkinan dengan posisi pemegang kekuasaan di ranah eksekutif kecurangan PILKADA melalui penyalahgunaan wewenang (abuse of power) selalu diarahkan kepada Petahana.
Memang dalam kenyataanya hal yang dituduhkan tersebut terbukti melalui dengan mudahnya penyalahgunaan wewenang contohnya menekan Aparatur Sipil Negara (ASN) di ruang lingkup pemerintahannya, mempergunakan dana APBD untuk sosialisasi dan pemenangan Tim kampanye, maupun berkampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan alias mencuri start bagi bakal calon (BALON) Petahana yang mencalonkan kembali berkompetisi pada pesta demokrasi yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali ini.
Berdasarkan kenyataan di tiap pergelaran pesta demokrasi
ini , keberadaan calon petahana (Incumbent) selalu terindikasi melakukan kecurangan atau dengan kata lain terjadinya “abuse of power”. Dari dua hal tersebut di atas Aparatur Sipil Negara (ASN) mempunyai keterkaitan yang cukup jelas dalam hal menyalahgunakan kewenangan pada pelaksanaan PILKADA, dan tidak menutup kemungkinan dengan motif-motif terbaru dalam menghadapi PILKADA serentak yang akan dilaksanakan Tahun 2024 ini. Para Petahana memanfaatkan ASN yang mempunyai ketergantungan langsung dengan kaitan posisi mereka setelah pilkada dan merupakan hal yang dilematis bagi setiap ASN menjelang Pemilu Kepala Daerah. Mereka seakan terbawa ke suasana rezim orde baru yang dulu nya mewajibkan ASN untuk memilih dan mendukung partai tertentu.
Penyalahgunaan kewenangan lewat jalur culas lainnya yang dilakukan oleh Petahana adalah Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam kegiatan kampanye merupakan perbuatan culas yang juga banyak dilakukan oleh Petahana dan sebagai upaya preventif sangat diperlukan peran dan partisipasi warga masyarakat agar hal seperti itu dapat berkurang. Calon petahana (Incumbent) mempunyai peluang besar dalam hal menggiring penyelenggara pemilu untuk berpihak kepada mereka. Oleh sebab nya, Bawaslu sebagai Badan yang berwenang mengawasi para penyelenggara pemilu dalam hal ini yang di jalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Intervensi dari pihak petahana kepada penyelenggara bukan tidak mungkin dilakukan dan bisa hampir di pastikan pasti ada,mereka akan mempertahankan kekuasaan mereka dengan berbagai cara yang tidak sesuai konstitusi.
Penyelenggaraan Pilkada serentak di tahun 2024 ini, melekat
aturan bagi Petahana yang kembali bertarung untuk memperoleh kursi kekuasaan.
Perlu peran serta masyarakat untuk turut serta mengawasi calon petahana agar tidak menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan elektoralnya.(NK)