Sidoarjo//suaraglobal.id-Salah satu nilai dasar dari sebuah proses pemilihan pemilu adalah terpenuhi nilai-nilai keadilan dalam pemilu (Electoral Justice). Keadilan hukum harus melandasi pelaksanaan pemilu dengan memastikan terpenuhinya seluruh hak-hak pemilih maupun peserta.
Dalam konteks kontestasi para peserta, sistem pemilu harus mampu memposisikan para peserta memiliki hak dan kewajiban yang sama alias tidak ada yang diistimewakan oleh sebuah sistem ataupun kekuasaan. Dalam hal ini kehadiran petahana sebagai salah satu peserta dalam pilkada sering menjadi polemik.
Kehadiran petahana dalam sebuah kontestasi pilkada dalam satu sisi dianggap sebagai pelaksanaan hak seseorang untuk dipilih namun di sisi lain majunya kembali Bupati/Walikota dan atau Gubernur memunculkan ketidakadilan bagi calon lain karena majunya petahana dalam posisi masih menjabat memberi keuntungan dari berbagai sisi khususnya dalam memanfaatkan kekuasaan yang diembannya.
Secara hukum pengaturan tentang petahana telah mengalami dinamika pada setiap revisi Undang-Undang Pilkada. Pada periode tahun 2008 UndangUndang Pilkada sempat mengatur ketentuan kewajiban mundur bagi petahana yang akan maju kembali dalam pilkada. Namun ketentuan dianulir setelah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan baru bahwa Petahana cukup mengambil cuti ketika akan maju kembali dalam pilkada.
Namun kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh petahana yang juga ikut kontestasi semakin menguat seiring seringnya muncul dugaan politisasi kebijakan dan program kerja pemerintahan yang dipimpin petahana.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah kemudian mencoba merespon fenomena potensi penyalahgunaan wewenang oleh petahana dalam pilkada. Ada dua hal baru yang bersifat paradigmatik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 junto Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang pelaksanaan pilkada.
Yang pertama, adanya dorongan dan politik hukum untuk mengatur perilaku dan kewenangan calon kepala daerah yang berstatus petahana agar lebih transparan, akuntabel dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mempertahankan kekuasaannya.
Yang kedua antisipasi dan kontrol terhadap perilaku dan pelaksanaan kewenangan oleh calon petahana, maka terdapat ancaman diskualifikasi pencalonan terhadap petahana yang terbukti menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala daerah yang aktif.
Secara normatif kedua hal tersebut diatur dalam Pasal 71 ayat 3 yang berbunyi: (1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Ayat (2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Ayat (3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Ayat (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
Ayat (5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Bawaslu kabupaten Sidoarjo memberikan surat himbauan dengan nomor 507/PM 00.02/KJI/24/11/2024 kepada Pjs bupati Sidoarjo tertanggal 20/11/2024 terkait tindakan pencegahan pelanggaran pemilu.
Poin pertama dalam himbauan tersebut adalah.Bahwa sesuai surat edaran Mendagri nomor 800.1.124/5814/SJ untuk menunda penyaluran bansos dari anggaran APBD atau sumber anggaran yang lainnya ditunda hingga setelah hari pemungutan suara pada 27/11/2024 karena berpotensi menjadi alat politik. Dan poin kedua dalam himbauan tersebut adalah. Tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada aktifitas kampanye di masa tenang dengan menamakan kegiatan Sosialisasi, silaturahmi, pentas seni, kegiatan keagamaan dan sebagainya.(NK)