Sidoarjo//suaraglobal.id-Banyaknya kepala desa yang menjadi tersangka kejaksaan negeri Sidoarjo membuat Kepala Desa di kabupaten Sidoarjo menjadi “gelisah ” dan menganggap seolah olah hanya kepala desa saja yang ditetapkan menjadi tersangka. Seperti yang di ungkapkan Ketua FKKD kabupaten Sidoarjo di salah satu media online.” Kami sangat menyayangkan, apakah hanya seorang kepala desa yang dimasukkan atau menjadi tersangka dalam kasus kasus di APH. Kami juga mendukung upaya pihak kejaksaan negeri Sidoarjo melakukan komunikasi kinerjanya mengungkap berbagai kasus itu. Dan selama ini Kejati menerapkan restorative justice selama mereka bisa didamaikan dan mengembalikan ” keterangan Budiono ketua FKKD kabupaten Sidoarjo (di kutip dari salah satu media online)
Menurut Kasmuin Direktur LSM Center For Participatory Development (CePAD), pernyataan Ketua FKKD Kabupaten Sidoarjo terkait penerapan Restorative justice (RJ) dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah salah alamat. Menurutnya, dalam undang undang no 31 tahun 1999 dan undang undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang penerapan Restorative justice (RJ) dalam tindakan Pemberantasan korupsi.
“Dalam tindakan Pemberantasan korupsi tidak berlaku penerapan Restorative justice. Dan statemen ketua FKKD kabupaten Sidoarjo itu salah alamat. Kalau Restorative justice diterapkan dalam kasus korupsi, ya sangat berbahaya, dan makin banyak pejabat tidak takut berbuat korupsi, kalau ketahuan APH hanya mengembalikan saja. Dan itu sudah jelas diatur dalam undang undang tindak korupsi bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan tindak pidananya.” kata Kasmuin.
Kasmuin juga mengatakan hanya kasus kasus tertentu yang bisa menerapkan restorative justice sebagaimana diatur dalam beberapa undang undang.
“Ada beberapa aturan tentang penerapan restorative justice. Seperti UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terbaru antara lain UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) yang mengatur restitusi dan kompensasi bagi korban. Kemudian UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur restorative justice walau tidak eksplisit. Yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 54 yang mengatur pedoman pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban atau keluarga korban. KUHP juga membuka peluang bagi hakim untuk memberikan pengampunan atau judicial pardon.” terang Direktur LSM CePAD tersebut.
Masih menurut Kasmuin, “Terkait anggapan Ketua FKKD Kabupaten Sidoarjo yang seolah-olah hanya Kepala Desa saja yang dijadikan tersangka, itu mungkin sebagai ungkapan emosional yang bersangkutan selaku ketua FKKD. Tapi menurut pandangan saya, bukan masalah siapa dan berapa banyak yang ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi oleh Kejaksaan Negeri Sidoarjo, tapi siapapun pejabat, baik di tingkat pemerintah desa sampai pemerintah daerah yang melakukan tindak pidana korupsi, wajib hukumnya bagi aparatur penegak hukum baik dari kepolisian maupun kejaksaan untuk memprosesnya tanpa pandang bulu.” pungkasnya. (NK)